OPINI: Pancasila Sebagai Pemersatu Keanekaragaman di Indonesia

Herwin Taulabi, mahasiswa IAIN Palopo (aset: deteksi)

Deteksifakta — Dalam momentum penubuhan Negara Indonesia, Pancasila menjadi sarana pemersatu bagi keanekaragaman para elemen pendiri negara. Sekaligus, menjadi diskursus kebangsaan yang hidup dan tidak pernah mati hingga hari ini.

Tetapi, dalam perspektif yuridis formil tentu saja Pancasila sudah final sebagai Dasar Negara merangkap sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Meski demikian, Pancasila sebagai sebuah pandangan besar dalam kehidupan bangsa dengan segenap kekayaan gagasannya tentu akan selalu terbuka terhadap dialektika kebangsaan untuk menopang kerangka bangunan socio-nasionalism Indonesia.

Wacana demi wacana mengenai Pancasila yang kerap menjadi kudapan di perkopian para cendikia muda, forum-forum konsolidasi aktivis, seminar-seminar kebangsaan, hingga tulisan-tulisan ilmiah para calon Sarjana hingga Doktor setidak tidaknya pernah dimuat satu diskursus tentang “kapan Pancasila dilahirkan dan siapa yang melahirkannya?”.

Diskursus tersebut melahirkan pilihan-pilihan kebangsaan diantaranya Pancasila dilahirkan pada 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, atau bahkan lebih jauh yaitu pada 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI. Kemudian, siapa yang melahirkannya? Seolah-olah ini juga harus disepakati. Setidaknya ada empat pandangan.

Pertama, dilahirkan oleh Ir. Soekarno melalui pidatonya pada 1 Juni 1945 yang untuk pertama kalinya menyebutkan istilah Pancasila sebagai philosophische grondslag atau weltanschauung berdirinya Negara Indonesia.

Kedua, Pancasila sebagai pikiran yang embrionik dilahirkan bersama-sama oleh ketiga tokoh: Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang berpidato pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.

Ketiga, dilahirkan oleh Panitia Kecil dan Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 melalui Piagam Jakarta yang kemudian dibacakan oleh Soekarno pada 10 Juli 1945.

Dan keempat, secara yuridis-formil dilahirkan melalui sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 dalam agenda pengesahan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Pada tanggal 1 Juni 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila.

Kepres tersebut menetapkan tanggal 1 Juni untuk diperingati oleh Pemerintah dan segenap komponen bangsa dan masyarakat Indonesia sebagai Hari Lahir Pancasila—sekaligus merupakan hari libur nasional.

Keputusan Presiden ini tampaknya masih dibayang-bayangi oleh keberatan beberapa pihak. Bahkan ada yang secara terbuka menyuarakannya ke publik melalui media sosial penolakan mereka atas penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila—sambil berharap pada pergantian kepemimpinan nasional yang akan datang, KepPres ini akan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (untuk kemudian mengembalikan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila, tanggal yang ‘netral’ untuk semua pihak).

Tentu, dalam perspektif historis seluruh pandangan tersebut memiliki nilai kebenarannya masing-masing. Maka, Pancasila sebagai falsafah dan jiwa Bangsa Indonesia tidak dapat dimaknai sempit dengan menetapkan hari lahirnya pada 29 Mei atau 31 Mei atau 1 Juni atau 22 Juni atau bahkan 18 Agustus.

Sebab dari fakta perjalanan sejarah tersebut pemahaman bahwa rumusan Pancasila sejak sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni, rumusan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final pada tanggal 18 Agustus 1945 harus dianggap sebagai satu kesatuan proses lahimya Pancasila sebagai Dasar Negara yang konseptual dan filosofis.

Bahkan, boleh jadi Pancasila sebagai volkgeist telah lebih dahulu ada jauh sebelum Pancasila sebagai istilah Dasar Negara dilahirkan. Alih-alih menetapkan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 yang menjauhkan Pancasila dari prinsip moderasi kebangsaan, atas nama persatuan Indonesia sejarah boleh bersepakat bahwa pada 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya “istilah” Pancasila sebagai philosophische grondslag lahir dan diperkenalkan.

“Kita pancasila karna kita berbeda, kalau dipaksa sama di mana pancasilanya”

Penulis : Herwin Taulabi (Mahasiswa IAIN Palopo)

Disclaimer: kami tidak bertanggungjawab atas seluruh baris teks berupa opini yang disajikan. Konten tulisan ini sepenuhnya dikembalikan kepada penulis.

Caca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *