OPINI: Menalar Hukum

Ben

Deteksifakta.com — Ada asas hukum yang menjelaskan bahwa setiap warga negara di anggap paham terhadap hukum. Asas ini, disebut asas fiksi hukum. Disebut fiksi, karena, asas tersebut bersifat asumsi, dan tak sesuai realita.

Jika asumsi dan tak sesuai dengan realita, Mengapa hukum menggunakan asas tersebut?. Alasannya, bila asas tersebut tak ada maka seseorang bisa saja melakukan perbuatan melawan hukum, dan ketika diminta tanggung jawab, seseorang tersebut dapat beralasan bahwa ia tidak paham hukum.

Sehingga, karena ia beralasan tidak paham hukum, maka tidak dapat di hukum. Akhirnya, ada kemungkinan untuk menghindari hukum, seseorang berusaha tidak paham hukum. Dalam kondisi ini, terjadilah yang disebut “kebutaan yang disengaja”.

Kita tahu bersama bahwa subjek hukum adalah manusia. Jika kita lacak filosofi dari penentuan subjek hukum, sebenarnya, yang dapat bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum adalah entitas yang berilmu dan berkesadaran. Entitas yang tidak berilmu dan tak punya kesadaran, seperti batu, pasir, angin, tak dapat dijadikan subjek hukum. Alasannya, karena yang tak berilmu, tak punya tanggung jawab.

Asas hukum diatas “Semua warga negara di anggap paham terhadap hukum”, dianggap benar oleh hukum, tapi dianggap salah oleh akal sehat. Sebab, dalam realita nya tidak semua warga negara paham terhadap hukum. Hukum membenarkan asas tersebut, demi kepastian hukum. Sementara, akal sehat menyalahkan asas tersebut demi kepastian pikiran.

Selanjutnya, dalam hukum, bila undang-undang telah di sahkan, maka undang-undang tersebut bersifat pasti, mengikat, dan final. Jika ia pasti dan final maka seharusnya tidak dapat di ubah. Namun, kenyataannya, undang-undang bisa diubah. Buktinya adalah adanya revisi undang-undang yang dilakukan oleh legislatif, bila di anggap tidak sesuai dengan zaman. Berdasarkan penalaran, terlihat adanya kontradiksi. Undang-undang yang pasti dan mengikat, di saat yang sama bisa diubah. Sesuatu yang bisa diubah, berarti tidak pasti dan mengikat. Sehingga penalaran akal sehat menolak ini.

Contoh selanjutnya ialah di dalam sebuah sidang perkara terdapat sebuah saksi. Ketika saksi ahli berbicara tentang hal yang diluar konteks keahliannya, maka ia dianggap salah. Ini merupakan bentuk kesalahan berfikir dalam pengadilan

Jika kita nalar dengan akal sehat maka seharusnya, pendapat tidak dapat langsung di anggap salah hanya karena disampaikan orang yang kita anggap tak ahli. Karena untuk mengukur benar salahnya suatu pendapat, bukan di lihat dari siapa yang menyampaikan, tapi dilihat dari konten yang di sampaikan.

Namun hal tersebut demi kepastian dan tujuan ideal hukum, harus di anggap benar. seperti itulah logika di dalam hukum. Sehingga, disini kita harus dapat membedakan dan memisahkan mana akal murni dan mana akal hukum.

Penulis: Dandi Ishak

Disclaimer: Deteksifakta.com tidak bertanggungjawab atas kandungan tulisan. Opini sepenuhnya dikembalikan kepada sang penulis. Bila Anda komplain, silahkan hubungi penulis.

Ben
Ben
Ben

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *