Matinya Cinta di Hati Pemimpin Negara dan Narsisme Kolektif Menjadi Alternatifnya

Mahasiswa IAIN Palopo, Firmansyah (dok: Deteksifakta)

Deteksifakta.com — Kekuasaan secara etimologis berasal dari kata “potere” yang dalam bahasa latin bermakna mampu (to be able). sementara secara terminologis kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu entitas untuk mempengaruhi orang lain atau mengontrol keputusan, tindakan, dan sumber daya dalam suatu konteks tertentu, seperti; politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Hal ini tergantung pengaruh (influence) yang dimiliki oleh individu, kelompok, lembaga, dan negara dalam memengaruhi atau mengatur perilaku pihak lain. Kekuasaan ini dapat bersifat formal, seperti yang dimiliki oleh pejabat pemerintah, dan juga dapat bersifat informal, seperti yang dimiliki kaum religius dalam pengaruh besar dimasyarakat.

Kekuasaan dapat bersifat demikian karena ada asas legitimasi yang meliputinya seperti; Legitimasi religius, yang memiliki suatu keahlian berdasarkan faktor-faktor adi-kodrati (ilahi, gaib, supranatural) sehingga mendapatkan hak ketuhanan (the devine right) untuk menjadi pemimpin dan Legitimasi Elit (aristokratis, teknokratis, ideologis, pragmatis), yang mana ini berdasarkan pada kemampuan khusus yang dimiliki aktor (individu atau kelompok) untuk menjadi pemimpin meskipun aktor yang mengingikan legitimasi tersebut menggunakan cara yang salah.

Berbicara mengenai kekuasaan tentu berhubungan dengan otoritas (authority) yang kekuasaannya dilembagakan (institutionalized power) atau diabsahkan. Presiden Negara Republik Indonesia yang terpilih dua periode sejak tahun 2014 hingga 2024 mendapatkan legitimasi secara mayoritas dari warga negara (citizen) sehingga memenangkan Pemilihan Presiden. Hal ini tentu tidak mudah bagi Presiden untuk sampai pada karirnya karena ia merangka dari tukang meubel, wali kota solo, hingga menjadi presiden.

Sebagai warga negara tentu tidak mudah memberikan legitimasinya begitu saja kepada presiden dan pastinya ada acuan yang melatarbelakanginya dalam hal ini adalah melihat prosesnya menjadi presiden yang begitu murni baik dari segi hukum maupun etika dan moral.

Namun di akhir periode kepemimpinan presiden banyak dinamika hukum yang terjadi mulai dari termuatnya pasal 218 ayat 1 UU No.1/2023 bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan/harkatmartabat presiden atau wakil presiden bisa mendapat pidana penjara.

Pasal tersebut menjadi tameng bagi anak presiden sebagai Wakil Presiden (2024-2029) yang minim pengalaman dalam politik. Ketika kita melihat gagasan dari Axel Hagerstrom salah satu filsuf swedia mengatakan bahwa “segala sesuatu yang berada didalam diri manusia adalah real dalam hal ini perasaan, cinta, dan sejenisnya sementara yang berada diluar diri manusia adalah nihil dalam hal ini adalah jabatan”.

Hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh anti teradap kritik karena pemimpin adalah sebuah jabatan yang berada diluar diri manusia yang sama sekali tidak memiliki perasaan, dan apabila seorang pemegang jabatan merasa tersinggu terhadap suatu kritikan berarti kondisi dia dalam individu(real).

Selanjutnya, seorang paman yang meloloskan ponakannya untuk maju sebagai calon wakil presiden melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Putusan MA No.23 P/HUM/2024 yang mengubah patokan umur calon kepala daerah dari “pendaftaran calon” kini menjadi “pada saat dilantik” hal ini tentu membuat suatu kehancuran terhadap hukum.

Sebagaimana adagiumnya Interpretatio cessat in Claris, interpretation est perversio (Redaksi UU telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab penafsiran terhadap kata-kata yang jelas berarti penghancuran). Yang artinya KPU mempunyai kewenangan untuk menyusun PKPU dalam rangka melaksanakan pemilu dan PKPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU No.7/2017 Pasal 75 ayat 1 dan 2 tentang pemilihan umum bahwa “untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur dalam UU ini. KPU membentuk Peraturan KPU (PKPU) dan keputusan KPU”.

PKPU diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana pasal 8 ayat 2 UU No.12/2011, Dan masih banyak problem hukum lainnya yang penulis tidak dapat menuliskannya semua.

Melihat fenomena diatas(alam demokrasi Indonesia) Presiden dengan segala otoritasnya mencoba menjadi Tuhan dengan cara mempertahankan kekuasaan pelbagai macam cara (the ends justified the means).

Lord Acton “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut) yang saat ini belum ada bukti terkait tindakan korup yang dilakukan presiden namun bukan berarti kekuasaanya disalahgunakan (otoriter).

Selain otoritas yang mengantarkannya pada otoriter sehingga minimnya cinta terhadap rakyat juga mengantarkannya pada narsistik sehingga runtuhnya etika sosial dalam memimpin negara.

Istilah narsisme atau narsistik dimulai sejak adanya tokoh dalam mitologi Yunani bernama Narcissus, yang memiliki paras rupawan dan dicintai banyak perempuan. Namun ia wafat dalam keadaan bunuh diri dengan terjun ke kolam karena ingin menjumpai wajahnya yang berada di dalam kolam.

Gejala narsistik ini dapat dilihat dari seseorang yang menganggap dirinya sangat penting dan ingin sekali dikagumi.

Hal ini tentu semua manusia memiliki potensi dalam dirinya menjadi seorang narsistik, karena ada faktor eksternal yang mempengaruhinya. seperti percaya diri berlebihan yang biasanya tidak menghargai perasaan serta kebutuhan orang lain dan biasanya dibarengi fantasi meraih kesuksesan dan kekuasaan tanpa batas seperti Presiden yang sudah mulai melakukannya.

Namun berbeda dengan Rumi, sifat narsistik sudah ada jauh sebelum mitologi yunani. Dalam hal ini adalah Iblis sebagai mahluk yang lebih awal ada daripada manusia dan merasa derajatnya lebih tinggi sehingga ia mengklaim dirinya(iblis) jauh lebih baik daripada Adam a.s.

“Keakuan telah butakan manusia,Karena sirna rasa malu dan akal.Sebagaimana ratusan ribu tahun silam. Rasa keakuan telah gelincirkan umat. Iblis berkata, “Aku lebih utama dan mulia”.

Karena aku punya banyak kemampuan. Aku tercipta dari api sedang Adam dari tanah, Api lebihutama dari tanah,Kemana Adam saat itu,Ketika aku menjadi penghulu alam. (Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 1920-1926)

Narsistik tidak terpacu kepada individu, tetapi juga sekelompok orang sehingga disebut sebagai narsisme kolektif. Narsistik kolektif merupakan sebuah perasaan yang memuja kelompoknya sendiri, dibandingkan dengan kelompok lain, baik itu ras, agama, dan sejenisnya.

Istilah narsisme kolektif pernah digunakan Theodore Adorno untuk memberikan sentimen terhadap aturan fasis Nazi di Jerman 1930. Pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, narsisme kolektif ini juga dijadikan sebagai mobilisasi untuk memenangkan Donald Trump dengan mengunakan slogan Make America Great Again.

Begitupun Negara Indonesia, maraknya narsisme kolektif yang dibentuk Presiden dengan melibatkan mayoritas keluarganya untuk menduduki kursi kekuasaan, karena menganggap keluarganya jauh lebih baik daripada yang lain.

Bagi penulis (Firmansyah) tentu tidak ambigu terhadap kekacauan hukum yang terjadi di Negara tercinta ini karena hukum sendiri memiliki makna jama’, namun bukan berarti kita (citizen) membiarkan ketimpangan meraja lela di Negara tercinta ini. Sebab kebijakan pemimpin tergantung pada kemaslahatan rakyat (Tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah).

Dan Rumi juga berpesan kepada kita untuk senantiasa memberikan sebuah pengawasan dalam bernegara dengan berani mengkritik dan tidak memuji suatu subjek secara berlebihan. Sebab, pujian yang secara berlebihan akan menjadi candu dan racun bagi para penerimanya.

Sebagaimana dalam syairnya “Siapapun yang terlalu dipuji oleh pengikutnya, ketahuilah sesungguhnya jiwa mereka sedang teracuni.” (Matsnawi, jilid 4, bait 2744).

Mari kita hidup penuh keluhuran(ratio recte vivendi) untuk mencapai kebaikan bersama(civic virtue) dan tetaplah belajar terkait studi apapun dengan menggunakan cinta. “Sebab orang berilmu tanpa cinta dihatinya akan mengantarkannya pada ruang kosong dan seorang penguasa tanpa cinta dihatinya tentu akan otoriter”.

Penulis sengaja memberikan judul diatas karena Presiden tidak memiliki cinta dihatinya terhadap warga Negara yang memberikannya legitimasi.

Penulis : Firmansyah.

Caca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *